Oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Jayabaya

 

KORUPSI tidak pernah menjadi sekadar persoalan hukum. Ia adalah virus yang menggerogoti negara dari dalam. Dalam konteks Indonesia, korupsi bukan hanya pelanggaran etika atau moral aparatur, melainkan telah menjelma menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang mengancam keberlangsungan negara hukum dan demokrasi konstitusional.

Sebutan “kejahatan luar biasa” terhadap korupsi bukanlah retorika kosong. Ia memiliki landasan akademik, sosiologis, dan yuridis yang solid. Korupsi disebut luar biasa karena memiliki tiga sifat utama: sistemik, terorganisir, dan merusak.

Pertama, korupsi bersifat sistemik. Ia menyusup ke dalam berbagai struktur kekuasaan, dari birokrasi level bawah hingga elite politik tertinggi. Dalam konteks ini, korupsi tidak lagi sekadar dilakukan oleh individu yang menyalahgunakan jabatan, tetapi telah menjadi pola dalam pengambilan keputusan publik.

Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption (1988) menyatakan bahwa korupsi tumbuh dalam sistem dengan kombinasi monopoli kekuasaan, diskresi tinggi, dan akuntabilitas rendah, sebuah realitas yang akrab dalam birokrasi Indonesia.

Kedua, korupsi bersifat terorganisir. Banyak kasus besar menunjukkan keterlibatan banyak aktor dalam jaringan yang saling melindungi. Di sinilah korupsi menjadi kejahatan kolektif yang sulit diberantas dengan mekanisme biasa. Korupsi tidak hanya memperkaya individu, tetapi menopang struktur kekuasaan yang koruptif.

Ketiga, korupsi memiliki daya rusak luar biasa. Dampaknya bukan hanya kerugian negara secara materiil, melainkan juga krisis kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Transparency International mencatat bahwa persepsi korupsi di Indonesia masih tinggi, dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024 stagnan di angka 34/100.

World Bank menyebut korupsi sebagai the single greatest obstacle to economic and social development. Ia menciptakan alokasi sumber daya yang timpang, memperburuk kemiskinan, dan merusak kualitas layanan publik. Pada akhirnya, korupsi membunuh meritokrasi dan memperlemah demokrasi.

Dalam konteks hukum Indonesia, pengakuan korupsi sebagai kejahatan luar biasa sudah cukup eksplisit. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 memberi kewenangan khusus kepada lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang lahir dari kebutuhan untuk menangani kejahatan luar biasa secara luar biasa pula.

Penguatan konsep ini juga datang dari Mahkamah Konstitusi, yang dalam putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006 menyatakan bahwa korupsi membutuhkan perlakuan khusus dari negara demi menjamin hak-hak konstitusional warga negara atas pemerintahan yang bersih. Artinya, pendekatan biasa dengan prosedur hukum umum tidak memadai untuk melawan korupsi.

Namun, perlakuan luar biasa ini harus tetap berada dalam koridor prinsip negara hukum. Penegakan hukum antikorupsi harus tetap menjunjung asas due process of law. Ketika aparat penegak hukum menggunakan pendekatan keras, mereka tetap tidak boleh melanggar hak-hak dasar tersangka. Keseimbangan antara efektivitas dan keadilan adalah tantangan utama dalam memberantas korupsi secara konstitusional.

Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kepastian, keadilan, dan perlindungan hak asasi. Dalam konteks ini, pemberantasan korupsi adalah bagian dari upaya konstitusional untuk menegakkan keadilan dan kepercayaan publik.

Penting ditekankan bahwa negara hukum tidak boleh hanya dilihat dari aspek formal—adanya lembaga, undang-undang, dan prosedur. Negara hukum harus juga bermakna substantif, yang menegakkan keadilan dan moralitas publik. Lon L. Fuller dalam The Morality of Law (1964) menegaskan bahwa hukum tanpa dimensi moral akan kehilangan legitimasi sosialnya. Maka, perang terhadap korupsi adalah perang moral untuk memulihkan kepercayaan rakyat pada hukum.

Kita tidak bisa terus-menerus mengandalkan jargon bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa, sementara komitmen untuk memberantasnya berjalan biasa saja. Yang luar biasa bukan hanya sifat korupsi, tapi juga harusnya tekad politik dan konsistensi sistem hukum untuk memberantasnya.

Jika korupsi adalah musuh dalam selimut, maka negara hukum harus punya keberanian untuk membuka selimut itu—meski yang terbuka adalah wajah sendiri. Hanya dengan begitu, cita-cita negara hukum yang bersih dan demokratis dapat terwujud, bukan sebatas mimpi dalam teks konstitusi.

 

Jumat 13 Juni 2025

 

Disclaimer: Opini ini di luar tanggung jawab redaksi

 

 

megapolitanco
Editor