Megapolitan.co – Istilah “Rojali” dan “Rohana” kini tengah ramai diperbincangkan di media sosial. Rojali yang berarti rombongan jarang beli dan Rohana yang merupakan singkatan dari rombongan hanya nanya-nanya, merujuk pada fenomena maraknya pengunjung mal yang hanya datang untuk berjalan-jalan, melihat-lihat, atau sekadar nongkrong, tanpa melakukan transaksi belanja.

Fenomena ini tidak hanya menjadi tren urban, tetapi juga menyimpan sinyal serius tentang kondisi sosial-ekonomi masyarakat saat ini.

Hal itu diungkapkan oleh Tinton Ditisrama, pengajar hukum dan pemerhati kebijakan publik dari Universitas Jayabaya.

“Rojali dan Rohana bukan sekadar lelucon internet. Mereka adalah termometer sosial yang menunjukkan, bahwa daya beli masyarakat sedang melemah. Jika mal ramai tapi tenant sepi, itu tanda ada yang tidak beres dalam struktur ekonomi kita,” ujar Tinton dalam keterangannya, Rabu, (30/7/2025).

Menurut Tinton, dari perspektif hukum tata negara, negara berkewajiban menjamin hak setiap warga untuk menikmati ruang publik.

“Tidak ada aturan yang mewajibkan orang untuk belanja saat masuk mal. Ini bagian dari kebebasan sipil yang dijamin konstitusi. Tapi di sisi lain, negara juga wajib menciptakan kondisi ekonomi yang memungkinkan warga untuk mampu membeli,” jelasnya.

Lebih lanjut, Tinton menyoroti fenomena ini sebagai cermin belum optimalnya peran negara kesejahteraan. Negara, kata dia, harus hadir lebih aktif melalui kebijakan yang memperkuat daya beli masyarakat, memperluas lapangan kerja, dan menyediakan ruang publik alternatif di luar pusat perbelanjaan.

“Kalau ruang publik yang nyaman hanya ada di mal, dan masyarakat hanya bisa menjadi penonton etalase, maka negara perlu mengevaluasi perannya. Rojali dan Rohana adalah alarm sosial, bukan beban. Mereka menunjukkan bahwa ada ketimpangan yang perlu segera ditangani,” tutupnya.

Tinton juga mengusulkan agar pemerintah memperkuat stimulus ekonomi yang tidak sekadar berbentuk bantuan langsung, tetapi juga pemberdayaan masyarakat dan pembukaan ruang-ruang interaksi publik yang tidak berbasis konsumsi.

Fenomena Rojali dan Rohana menunjukkan bahwa Indonesia tidak kekurangan aspirasi warga, tapi mungkin sedang kekurangan respons kebijakan yang inklusif dan berpihak.

megapolitanco
Editor