Megapolitan.co – Model bisnis monetisasi dari Meta dan Google mendorong konten kreator berlomba mengejar viralitas.

Prinsip lama “Bad News is Good News” kembali dipraktikkan, kabar buruk dianggap paling efektif menarik klik dan tayangan, meski sering kali mengorbankan akurasi serta konteks.

Bencana hidrometeorologi yang melanda Sumatera pun dijadikan bahan konten oleh sebagian pihak untuk memacu engagement.

Akibatnya, sejumlah unggahan menyederhanakan persoalan lapangan dan mengabaikan kompleksitas penanganan, demi membangun narasi provokatif yang mudah dikonsumsi publik.

Pada 19 Desember 2025, dalam konferensi pers di Halim Perdana Kusuma, Seskab Teddy Indra Wijaya menegaskan bahwa pemerintah telah bergerak melakukan penanganan sejak hari pertama.

Ia juga mengingatkan agar influencer memanfaatkan pengaruhnya secara bijak dan tidak membentuk opini yang keliru.

Klarifikasi Beruntun, Dampak Konten Tanpa Verifikasi

Fenomena ini juga berdampak langsung pada para kreator. Ferry Irwandi harus menyampaikan klarifikasi setelah kontennya terkait bencana Sumatera memicu tuduhan dan fitnah di ruang publik.

Virdian Aurellio pun meluruskan pernyataan kritisnya karena dinilai bertentangan dengan fakta mengenai keterlibatan bisnis pribadinya.

Kasus lain melibatkan Fadly Assegaf, yang akhirnya menutup seluruh akun media sosialnya setelah warganet menilai konten yang diunggahnya menggiring opini negatif tanpa didukung data serta proses verifikasi yang memadai.

Serangkaian kejadian tersebut menegaskan bahwa popularitas digital tidak selalu sejalan dengan tanggung jawab etik. Tanpa verifikasi, konten justru dapat merugikan pembuatnya sendiri.

Ronnie Sahala
Editor