Oleh: Tinton Ditisrama, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum, Universitas Jayabaya

 

PENANGKAPAN 106 warga negara Indonesia (WNI) di Phnom Penh, Kamboja, karena dugaan keterlibatan dalam jaringan penipuan daring kembali membuka luka lama: lemahnya sistem perlindungan dan pengawasan terhadap mobilitas warga negara kita di luar negeri.

Kasus ini tidak sekadar soal hukum kriminal lintas negara, tetapi juga ujian bagi negara dalam memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya terhadap warga negaranya.

Sebagai warga negara, setiap orang Indonesia berhak atas perlindungan hukum di mana pun ia berada. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 27 dan Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin kesamaan kedudukan di hadapan hukum serta hak atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil.

Dengan demikian, meskipun para WNI di Kamboja diduga terlibat dalam kejahatan, negara tetap berkewajiban memastikan mereka mendapatkan proses hukum yang transparan, pendampingan konsuler yang layak, dan perlakuan yang manusiawi.

Namun, perlindungan semacam itu seharusnya tidak berhenti pada reaksi setelah masalah muncul. Banyak kasus serupa menunjukkan bahwa sebagian besar WNI berangkat ke luar negeri tanpa izin resmi, bahkan tanpa memahami risiko hukum yang menanti.

Celah ini menunjukkan bahwa sistem migrasi kita belum sepenuhnya kuat. Pemerintah memang memiliki perangkat hukum seperti UU Keimigrasian dan UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, tetapi implementasi dan pengawasan di lapangan masih lemah.

Dalam konteks hukum kewarganegaraan, setiap warga negara bukan hanya membawa hak, tetapi juga tanggung jawab. Ketika seseorang melintasi batas negara dengan membawa paspor Indonesia, ia membawa identitas dan martabat bangsanya.

Karena itu, pelanggaran yang dilakukan oleh individu di luar negeri kerap berdampak pada citra negara di mata dunia. Negara tidak bisa membiarkan warganya bergerak tanpa perlindungan dan tanpa pemahaman tentang batas hukum di negara tujuan.

Kelemahan terbesar kita mungkin bukan pada niat, tetapi pada sistem yang reaktif. Kita baru bergerak ketika sudah ada korban atau penangkapan. Padahal, perlindungan warga negara semestinya dimulai jauh sebelum keberangkatan.

Edukasi publik, verifikasi dokumen, pengawasan perekrut tenaga kerja ilegal, serta kerja sama imigrasi lintas negara perlu diperkuat. Di sinilah peran negara benar-benar diuji: apakah hadir hanya sebagai pemadam kebakaran, atau sebagai penjaga hak dan martabat warganya sejak awal.

Lebih dari sekadar diplomasi, perlindungan WNI di luar negeri adalah bagian dari menjaga kehormatan bangsa. Negara yang melindungi warganya menunjukkan kedewasaan hukum dan kedaulatannya di mata dunia.

Dalam era global saat ini, kewarganegaraan bukan sekadar status administratif, melainkan hubungan moral dan hukum antara warga dan negara yang saling mengikat.

Maka, kasus 106 WNI di Kamboja harus dibaca bukan hanya sebagai catatan kriminal, melainkan juga sebagai peringatan.

Bahwa dalam setiap paspor Indonesia yang dibawa keluar negeri, tersimpan amanat besar: negara wajib melindungi, dan warga wajib menjaga nama baik bangsanya.

Jumat 7 November 2025

 

Disclaimer: Opini ini di luar tanggung jawab redaksi